1. W.S Rendra
Rendra (Willibrordus Surendra Bawana Rendra; lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai “Burung Merak”. Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, ia lantas mendirikan Bengkel Teater Rendra di Depok pada bulan Oktober 1985. Semenjak masa kuliah ia sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah. Beberapa karyanya adalah:
- Ballada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
- Blues untuk Bonnie Empat Kumpulan Sajak
- Sajak-sajak Sepatu Tua Mencari Bapak Perjalanan Bu Aminah
2. Taufik Ismail
Dilahirkan di Bukittinggi, menghabiskan masa SD dan SMP di Bukittinggi dan SMA di Pekalongan, ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Banyak puisinya dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo, pimpinan Samsudin Hardjakusumah, atau sebaliknya ia menulis lirik buat mereka dalam kerja sama. Ia pun menulis lirik buat Chrisye, Yan Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok Harahap. Menurutnya kerja sama semacam ini penting agar jangkauan publik puisi lebih luas. Hasil karya:
- Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966)
- Benteng, Litera ( 1966)
- Buku Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi,1972)
3. Chairil Anwar
Chairil Anwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau dikenal sebagai “Si Binatang Jalang” (dari karyanya yang berjudul Aku) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan ’45 dan puisi modern Indonesia.
- Deru Campur Debu (1949)
- Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
- Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
4. Sutardji Calzoum Bachrie
Sutardji Calzoum Bachri (lahir di Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni 1941; umur 69 tahun) adalah pujangga Indonesia terkemuka. Dari sajak-sajaknya itu, Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra. Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda.
5. Gunawan Muhammad
Goenawan Soesatyo Mohamad (Karangasem, Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941) adalah seorang pujangga Indonesia yang terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo.
Goenawan Mohamad adalah seorang intelektual yang punya wawasan yang begitu luas, mulai dari pemain sepakbola, politik, ekonomi, seni dan budaya, dunia perfilman dan musik, dan lain-lain. Pandangannya sangat liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional.
Sajak-sajaknya dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001). Terjemahan sajak-sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamuntjak, terbit dengan judul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004).(**)
Sumber: Dari berbagai sumber, 2011
No comments:
Post a Comment