Tuesday, June 14, 2011

Sultan Hamid II Di Balik Lambang Negara


Senin, 06 Juni 2011 - 14:11:05 WIB
Sosoknya kontroversial. Pernah dituduh berkomplot dengan Westerling dan makar.

PERINGATAN Hari Lahir Pancasila mengakhiri, setidaknya sementara, polemik kapan dasar negara dilahirkan dan siapa penggalinya. Sejak era reformasi, 1 Juni diakui sebagai Hari Lahir Pancasila, bukan 18 Agustus sebagaimana versi Orde Baru. Penggalinya adalah Sukarno, bukan Muhammad Yamin.

Namun lain Pancasila lain pula Garuda Pancasila, lambang negara. Meski tak pernah ada polemik, bukan berarti kita berhadapan dengan sejarah yang terang-benderang soal siapa sebenarnya pencipta lambang itu. Sampai sekarang tak pernah dinyatakan dengan jelas, termasuk dalam buku-buku pelajaran, perihal siapa dan bagaimana proses perumusannya.

Ada satu nama yang layak dimunculkan dalam proses perumusan lambang negara. Dia seorang arsitokrat yang pernah menjadi menteri dan sultan sekaligus: Hamid Alkadrie. Lahir pada 12 Juli 1913 di Pontianak, Kalimantan Barat, dengan nama Syarif Hamid Alkadrie, Sultan Hamid II adalah generasi ketujuh Kesultanan Kadriah –berdiri tahun 1771 Masehi.

Ayahnya, Sultan Syarif Muhamad Alkadrie, memiliki darah Indonesia-Arab. Ibunya (istri keempat), Shaikha Jamila bin Syecha Djamilah Syarwani, murni berdarah Arab. Namun, sejak berusia 10 hari, Hamid diasuh dua perempuan Inggris, Nona S. Fox dan Nona E.M. Curties. Menurut Frans Dingemans dalam disertasi “Hamid Alkadrie: Sultan Pontianak, Peranannya selama Masa Revolusi Indonesia 1945-1950”, ini dilakukan demi pertimbangan keamanan; khawatir Hamid akan diracun seperti dialami kakak lelakinya.

Hamid mengenyam pendidikan yang memadai. Dia sempat bersekolah Technische Hooge School (THS) –kini Institut Teknologi Bandung– tapi tak tamat. Dia kemudian masuk Koninklijke Militaire Academie di Breda, Negeri Belanda, hingga tamat dan meraih pangkat letnan dua.

Pada 1941, Hamid ikut bertempur melawan Jepang di Balikpapan. Karena terluka, atas perintah komandannya, dia berangkat ke Pulau Jawa; mula-mula ke Surabaya lalu Malang. Tentara Belanda sendiri tak mampu mengatasi perlawanan Jepang, dan menyerah tanpa syarat pada 10 Maret 1942. Sebagai perwira KNIL, Hamid termasuk target penangkapan. Dia pun ditangkap militer Jepang dan ditahan selama 3 tahun lebih.

Hamid bebas setelah Jepang kalah perang. Tak berapa lama, tepatnya 29 Oktober 1945, dia diangkat sebagai sultan dengan gelar Syarif Hamid Alkadrie, namun lebih dikenal dengan Sultan Hamid II. Sekira dua tahun kemudian dia juga menjabat kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat, yang pertama sekaligus terakhir, karena daerah istimewa tersebut berumur pendek, hanya dua tahun.

Bersama sejumlah tokoh Negara-negara Bagian/Kepala-kepala Daerah Otonom, Sultan Hamid II membentuk Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO) atau Perhimpunan Musyawarah Federal, yang lahir dalam Pertemuan Musyawarah Federal di Bandung pada 15-18 Juli 1948. Gagasan pembentukan BFO berasal dari inisiatif Ida Anak Agung Gde Agung, kepala negara Indonesia Timur, yang ingin menghilangkan kesan bahwa keberadaan Negara-negara Bagian/Daerah Otonom semata merupakan ide dari Van Mook, letnan gubernur Belanda di Indonesia. Selain itu, pembentukan BFO berangkat dari keprihatinan atas konflik antara Indonesia dan Belanda yang tak mencapai titik temu. BFO berusaha menjembatani kepentingan Indonesia maupun Belanda, yang kemudian tercapai melalui Konferensi Meja Bundar (KMB).

“… maka usaha BFO, sejak lahirnya organisasi ini, ditujukan pada tercapainya kemerdekaan tanah air kita, kemerdekaan untuk segenap bagian tanah air kita, dan untuk mencapai suatu persatuan yang dapat menjamin kemerdekaan, baik bagi seluruhnya maupun untuk bagian-bagiannya,” kata Sultan Hamid II dalam pidato pembukaan Konferensi Inter Indonesia, yang digelar untuk menyamakan persepsi antara Indonesia dan BFO sebelum maju ke perundingan bersama Belanda. Sultan Hamid II adalah ketua BFO, menggantikan Tengku Bahriun yang meninggal dunia. Konferensi sendiri berlangsung dalam dua tahap; pertama di Istana Kepresidenan RI di Yogyakarta 19-23 Juli 1949 dan kedua di eks Gedung Volksraad (sekarang Gedung Pancasila) Jakarta, 1 Juli hingga 2 Agustus 1949.

KMB berlangsung di Den Hag pada 23 Agustus hingga 2 November. Sultan Hamid II memimpin delegasi BFO, sementara delegasi Indonesia dipimpin Mohamad Hatta. KMB menghasilkan sejumlah keputusan penting, terutama pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS).

Peranan Sultan Hamid II dalam perumusan lambang negara terjadi di masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS). Saat itu dia ditunjuk sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio dalam Kabinet RIS. Karena Pasal 3 Ayat (3) Konstitusi RIS 1949 menyatakan bahwa pemerintah menetapkan lembang negara, Presiden (RIS) Sukarno menugaskannya untuk merancang bentuk gambar lambang negara.

Dalam sidang kabinet tanggal 10 Januari 1950, dibentuk sebuah Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinasi Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II. Panitia ini bertugas menyeleksi atau menilai usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan ke pemerintah. Muhammad Yamin menjadi ketuanya, sementara anggotanya adalah Ki Hajar Dewantoro, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan Purbatjaraka.

Menurut pernyataan Bung Hatta dalam buku Dr Z. Yasni, Bung Hatta Menjawab, untuk melaksanakan keputusan sidang kabinet, Menteri Priyono menggelar sayembara. Dua karya terbaik akhirnya dipilih dan diajukan ke Panitia Lencana Negara, yakni rancangan Muhammad Yamin dan Sultan Hamid II. Bisa jadi Hatta keliru. Sebab, selama periode RIS, tak ada anggota kabinet bernama Priyono. Kita mengenal Priyono sebagai menteri (pendidikan dan kebudayaan) pada 1957 hingga 1966. Di masa RIS, jabatan menteri itu dipegang oleh Abu Hanifah.

Yang jelas, kedua rancangan itu kemudian diserahkan ke Panitia Lencana Negara. Panitia menolak rancangan Muhammad Yamin, karena mengandung banyak unsur sinar matahari yang mengesankan adanya pengaruh Jepang. Pemerintah akhirnya menerima Garuda Pancasila rancangan Sultan Hamid II dan menetapkannya sebagai Lambang Negara Republik Indonesia Serikat pada 11 Februari 1950. Dalam perkembangannya, lambang itu mengalami beberapa kali perbaikan, sehingga menghasilkan Garuda Pancasila seperti yang kita kenal sekarang.

Namun perjalanan hidup Sultan Hamid II justru berakhir tragis. Selang dua bulan kemudian, Sultan Hamid II dicopot dari jabatannya sebagai menteri dan ditangkap saat berada di Hotel Des Indes atas perintah dari Jaksa Agung RIS Tirtawinata. Dia dituduh bersekongkol dengan Westerling dan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), yang menyerbu Bandung pada 22 Januari 1950 dan Jakarta pada 26 Januari 1950. Tiga tahun kemudian dia diadili dan mendapat vonis hukuman 8 tahun penjara.

Ketika bebas pada 1958, Sultan Hamid II tak bepolitik lagi. Namun, empat tahun menghirup udara bebas, dia kembali ditangkap dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, Jawa Timur. Tuduhannya: dia hendak melakukan kegiatan makar dan membentuk organisasi ilegal bernama Vrijwillige Ondergrondsche Corps (VOC). Menurut Abdul Harris Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid V, konon, persiapannya dilakukan bersama sejumlah tokoh saat mereka berada di Gianyar, Bali, untuk menghadiri upacara ngaben (pembakaran jenazah) ayah Ida Anak Agung Gde Agung. Dalam upacara tersebut hadir sejumlah tokoh oposisi, terutama dari dua partai yang sudah dibubarkan, Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), seperti Mohamad Roem (Masyumi), Sutan Sjahrir (PSI), dan Subadio Sastrosatomo (PSI). Mohammad Hatta hadir. Begitu juga Sultan Hamid II, yang notabene kawan lama Ida Anak Agung Gde Agung.

Selama sekira empat tahun Sultan Hamid II ditahan tanpa proses pengadilan, dan baru dibebaskan pada 1966 setelah era Sukarno berakhir. Tuduhan makar terhadap Sultan Hamid II di mata kawan lamanya, Ida Anak Agung Gde Agung, kemungkinan besar disebabkan pergunjingan orang-orang di sekitar Sukarno, bukan berangkat dari fakta. Bahkan Anak Agung menegaskan bahwa semua tuduhan itu omong kosong. Sebabnya, sejak keluar dari penahanan tahun 1958, Sultan Hamid II tak terlibat dalam kegiatan politik sama sekali.

Selepas mendekam di penjara, Sultan Hamid II fokus pada aktivitas bisnis, sampai akhir hayatnya. Dia adalah pemilik dan presiden direktur PT Indonesian Air Transport. Pada 30 Maret 1978 Sultan Hamid II wafat di Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga Kesultanan Kadriah di Batu Layang, Pontianak.

Sosoknya memang di luar arus revolusi. Tapi toh peranannya bagi berdirinya republik tidaklah kecil, terutama dalam merintis jalan menuju pengakuan kedaulatan dan perumusan lambang negara Garuda Pancasila. [JHONNY BUDIYONO/KONTRIBUTOR]

No comments:

Post a Comment