Tuesday, January 10, 2012
Bajigur! Manifesto: Ora Obah Ora Mamah
sumber: DGI indonesia
Sekarang ini jaman click & utilize, data dan informasi apapun sangat mudah untuk diakses termasuk panduan mengoperasikan perangkat lunak untuk mendesain. Tak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk menjadi jago desain grafis ngetop. Hanya diperlukan ketlatenan dan sedikit kreatifitas utak-utik gambar. Meremehkan? Ya kami meremehkan pekerjaan desainer apabila dimaknai hanya sebagai proses modifikasi gambar, mengedepankan keunggulan teknis semata untuk sekedar mendapatkan karya yang bagus dipandang mata sementara miskin nilai dan pesan. Bahkan kami melihat di antara mereka dengan enteng mengkhianati tugasnya sebagai bagian dari individu yang selalu lekat dengan tanggungjawab sosial dan lingkungan.
Selera gambar atau karakter desainpun gampang diatur karena referensi karya orang bukan sesuatu yang sulit untuk diakses. Setiap keping imajinasi dapat dengan mudah divisualisasikan. Hanya dibutuhkan waktu luang dan kesabaran untuk bisa menjadi jagoan ‘desain grafis.’ Sebaiknya para desainer musti berpikir ulang, memilah imajinasi mana yang perlu untuk digoreskan di atas bidang gambar dan mana yang semestinya tidak. Rasanya tidak tepat bila suatu karya terpisah dari realitas masyarakat mayoritas atau mengacuhkan permasalahan bersama yang lama-kelamaan akan dipermaklumkan. Keberpihakan kini menjadi masalah akut para desainer grafis setelah keterbatasan teknis bukan lagi menjadi kendala.
Pengkategorian jenis kelamin – baca: identitas – desain grafis yang hanya terdiri dari dua kategori besar yaitu, desain komersial dan layanan masyarakat membuahkan konflik. Seseorang belum dianggap sebagai desainer hebat bila belum pernah mengerjakan proyek komersial – biasanya menggunakan gaya bertutur dan pembentukan citra yang berlebihan – dari brand terkenal. Karya layanan masyarakat seolah hanya untuk amatir dan cocok sebagai bahan pembelajaran untuk para mahasiswa saja. Bahkan ada kekhawatiran di kalangan desainer bahwa karya komersial adalah satu-satunya bara yang membuat asap dapur terus mengepul. Profesi ini menjadi banyak dikerumuni oleh orang-orang yang tumpul nurani, berpikiran dangkal, dan merasa hidup paling nyaman di dunianya sendiri.
Padahal secara eksistensial, manusia merupakan makhluk paling bebas dalam menentukan ide dan tindakan, termasuk keluar dari belunggu identitas semu yang mengkebiri jati diri sesungguhnya sebagai seorang desainer grafis. Misalnya, setiap desainer grafis tetaplah menjadi orang tua dari putra-putri mereka di rumah ketika dia menjalankan tugas professionalnya. Sehingga setiap perbuatannya termasuk karya-karyanya musti dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya secara material namun juga moral. Desainer grafis tetaplah manusia yang selalu lekat dengan identitas primordial. Adalah hal yang wajib, menjadi desainer grafis sekaligus menjadi seorang yang senantiasa jujur dan peduli dengan lingkungan dan masyarakat. Profesi ini tidak semestinya dijalankan menggunakan kacamata kuda.
Seharusnya tidak ada desain yang seratus persen komersial, meski dibuat untuk kepentingan dagang sekalipun. Kecuali kita telah maklum bahwa setiap individu adalah makhluk yang hanya digerakkan oleh hasrat memiliki dan lebih berkuasa diatas sesamanya. Tentu saja bukan! Ada tugas yang tampaknya saling meniadakan namun sesungguhnya saling melengkapi. Memaknai desain menggunakan konsep identitas tunggal; desain komersial dan layanan masyarakat benar-benar menyimpan potensi mengerdilkan bahkan menghancurkan sisi lain yang lekat pada diri para desainer. Label itu musti segera dibuang karena profesi ini memang kompleks. Secara substansial suatu karya semestinya tidak terpisah dari kehidupan masyarakat, ada nilai-nilai mendasar yang selalu lekat.
Tidaklah pantas desain yang hanya berakhir di tembok pajangan karena sekedar bagus dipandang. Memalukan juga bila cuma dielu-elukan, dibahas oleh kalangan pakar pemasaran dan periklanan karena telah berhasil menghasut orang untuk terus menguras dompet bahkan kalau perlu sampai korupsi demi terpenuhi hasrat berbelanja. Menyedihkan kalau hanya begitu akhirnya, su’ul khatimah (berakhir buruk). Karya desain seharusnya bisa membuat OBAH!, memuat kearifan universal, memiliki kekuatan untuk menciptakan aksi, menggugah dan mencerahkan nalar serta perasaan orang yang melihat dan membacanya. OBAH!, ora obah ora mamah, dalam bahasa indonesia berarti tidak bergerak maka tidak hidup. Pantang mencari penghidupan melalui jalan meniadakan keberadaan yang lain. Merasa berdosa bersuka cita diatas derita sesama.
World wide web forum, 25 April 2011
Labels:
DKV
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment