Monday, November 21, 2011

Langkah Pertama: Manufacturing Hope!


Setelah sebulan menjadi Menneg BUMN, industri inilah yang saya akan bangun lebih dahulu.

Minggu, 20 November 2011, 20:06 WIB
Karaniya Dharmasaputra

VIVAnews - Industri apakah yang harus pertama-tama dibangun di BUMN? Setelah sebulan menduduki jabatan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan setelah mengunjungi lebih dari 30  unit usaha milik publik ini saya bertekad untuk lebih dulu membangun industri yang satu ini: manufacturing hope! Industrialisasi harapan.
Itu bisa saya lakukan setelah saya berketetapan hati untuk lebih memerankan diri sebagai seorang chairman/CEO daripada seorang menteri. Kepada jajaran kementerian BUMN saya sering bergurau "lebih baik saya seperti chairman/CEO saja dan biarlah wakil menteri BUMN yang akan memerankan diri sebagai menteri yang sebenarnya".
Sebagai Chairman/CEO Kementerian BUMN, saya akan lebih fleksibel, tidak terlalu kaku dan tidak terlalu dibatasi oleh tembok-tembok birokrasi. Dengan memerankan diri sebagai chairman saya akan mempunyai daya paksa kepada jajaran korporasi di lingkungan BUMN. Meski begitu saya akan tetap ingat batas-batas: seorang chairman bukanlah seorang presiden direktur/CEO. Ia bisa mempunyai daya paksa tapi tidak akan ikut melaksanakannya. Tetaplah penanggungjawab pelaksanaannya adalah presiden direktur/CEO di masing-masing korporasi BUMN.
Dengan peran sebagai chairman/CEO itu saya tidak akan sungkan dan tidak akan segan-segan ikut mencarikan terobosan korporasi. Ini sesuai saja dengan arahan Presiden SBY bahwa menteri yang sekarang harus bisa berlari kencang. Dengan memerankan diri sebagai chairman/CEO saya akan bisa memenuhi harapan itu.
Tengoklah misalnya bagaimana kita harus menghadapi persoalan hotel-hotel BUMN kita yang ada di Bali. Semuanya sudah berpredikat yang paling buruk. Inna Kuta Hotel sudah menjadi yang terjelek di kawasan pantai Kuta. Inna Sanur (Bali Beach) sudah menjadi yang terjelek di kawasan pantai Sanur. Inna Nusa Dua (Putri Bali) sudah pasti menjadi yang terjelek di kawasan Nusa Dua yang gemerlapan itu. Bukan hanya yang terjelek, tapi juga sudah mau ambruk. Padahal di zaman dulu, hotel-hotel itu tergolong yang terbaik di kelasnya. Kini, di arena bisnis perhotelan di Bali, hotel-hotel BUMN telah menjadi lambang kemunduran, keruwetan dan kekumuhan.
Memang pernah ada upaya untuk bangkit. Direksi kelompok hotel ini (Grup PT Hotel Indonesia Natour) pernah diperbaharui. Bahkan tidak tanggung-tanggung, jajaran direksinya diambilkan dari para profesional dari luar BUMN. Dengan semangat profesionalisme, grup ini  ingin mulai merombak dua hotelnya: di Padang dan di Kuta. Tapi dua-duanya mengalami kesulitan. Yang di Padang over investasi. Yang di Kuta sudah enam bulan mengalami slow down. Yang di Padang itu bisa disebut over investasi karena  jumlah kamarnya jauh lebih besar dari pasarnya. Ini akan sangat sulit mengembalikan investasinya. Sedang yang di Kuta ada persoalan desain yang cukup serius.
Mengapa yang di Padang itu bisa terjadi over investasi? Ini tak lain karena kultur BUMN yang belum bisa menghindar dari intervensi. Begitu ada perintah untuk membangun hotel dengan skala yang sangat besar, direksinya tidak mampu meyakinkan bahwa skala itu kebesaran. Terutama dilihat dari kemampuan perusahaan. Yang di Kuta masalahnya lebih rumit lagi karena ketambahan masalah birokrasi.
Dua proyek itu kemudian menjadi isu yang ruwet. Ujung-ujungnya direktur utama yang didatangkan dari luar BUMN itu  tidak tahan lagi dan mengundurkan diri. Dalam suasana ruwet seperti itu tidak mungkin perusahaan bisa maju. Bahkan moral manajemen dan karyawannya pun bisa rusak, down dan lalu putus harapan.
Maka dalam kesempatan tiga hari menghadiri KTT Asean di Bali pekan lalu, saya manfaatkan waktu untuk manufacturing hope. Selama di Bali saya tidak tidur di hotel bintang lima di komplek KTT berlangsung, tapi memilih tidur di Inna Hotel Kuta yang katanya terjelek itu. Saya ingin ikut merasakan kesulitan manajemen dan karyawan di hotel ini. Saya ingin mendalami persoalan yang menghadang mereka. Pagi-pagi saya turun naik di proyek setengah jadi ini. Menjelang senja kembali turun naik lagi entah sampai berapa kali. Saya ingin, kalau bisa, menerobos hambatannya. Setidaknya saya ingin agar mereka tidak merasa sendirian dalam kesulitannya. Bahkan di malam kedua, saya tidur di kamar mock-up di tengah-tengah proyek yang lagi slow-down itu. Saya melakukan ini tidak lain untuk manufacturing hope.
Hasilnya insya Allah cukup baik. Di hari kedua semua persoalan bisa teruraikan. Proyek hotel yang sangat grand ini bisa dan harus berjalan kembali. Bahkan tahun depan harus sudah jadi. Diputuskanlah hari itu: Sebuah hotel baru, dengan nama baru (Grand Inna Kuta) akan lahir dan menjadi sangat iconic. Apalagi letaknya hanya di seberang Hard Rock hotel dengan posisi yang jauh lebih baik, karena langsung punya akses ke pantai Kuta.
Pun, selesai upacara pembukaan KTT Asean (selesai melihat cantiknya Perdana Menteri Thailand yang baru, Yingluck Sinawatra) saya copot jas, ganti sepatu kets, dan langsung meninjau luar dalam Hotel Inna Putri Bali. Lokasinya tidak jauh dari gedung megah untuk KTT Asean di Nusa Dua itu. Saya perhatikan mulai dari dapurnya, ruang cucinya, kamarnya, kebunnya, pantainya dan cottage-cottage-nya.
Ternyata benar. Bukan hanya telah menjadi yang terjelek di Nusa Dua, tapi juga sudah mau ambruk. Di sini, saya juga harus manufacturing hope. Tahun depan hotel yang sangat luas ini harus sudah mulai dibangun ulang.
Usai membuat keputusan soal Nusa Dua, malam ketiga saya memilih tidur di Sanur. Hotel seluas (duile!) 41 ha ini juga perlu dibangkitkan. Inilah hotel berbintang yang pertama di Bali. Inilah warisan Bung Karno. Kondisinya sudah kalah dengan tetangga-tetangganya. Hotel ini memiliki garis pantai matahari terbit sejauh 1 km! Alangkah hebatnya. Mestinya. Saya tentu menginginkan tahun depan hotel besar ini juga ikut bangkit.
Mengapa?
Karena tiga-tiganya berada di Bali. Sebuah kawasan wisata yang pertumbuhannya sangat tinggi. Memang Grup Inna Hotel masih punya puluhan hotel lainnya di seluruh Indonesia (dan umumnya juga dalam keadaan termehek-mehek) namun sebaiknya fokus dulu di tiga hotel itu. Dari sinilah kelak hope akan ditularkan ke seluruh Indonesia.
Tiga hotel besar inilah yang lebih dulu akan jadi titik tolak kebangkitan entah berapa banyak hotel-hotel BUMN ke depan. Saya sebut "entah berapa banyak" karena banyak BUMN yang kini juga memiliki hotel. Grup Inna punya banyak hotel. Garuda Indonesia punya banyak hotel. Pertamina punya banyak hotel. Kontraktor seperti Perusahaan Perumahan punya banyak hotel. Bahkan Jasa Marga konon juga lagi menyiapkan banyak hotel. Karena itu keberhasilan tiga pioner di Bali tadi akan besar artinya bagi BUMN.
Memang sebulan pertama ini baru hope yang bisa dibangun. Tapi kalau sebuah hope bisa membuat hidup kita lebih bergairah, mengapa kita tidak manufacturing hope. Bahan bakunya gampang didapat: niat baik, ikhlas, kreativitas, tekad dan totalitas. Semuanya bisa diperoleh secara gratis!

No comments:

Post a Comment