Posted by Teguh Iman Prasetya pada Rabu, November 26, 2008
Kajian Budaya di Indonesia
Nuraini Juliastuti dan Antariksa
Seperti diingatkan oleh Stuart Hall, kajian budaya selalu berbicara
tentang artikulasi antara budaya dan kekuasaan (Morley and Chen, 1996:
395). Apa yang dipertaruhkan dalam kajian budaya adalah hubungan antara
politik dan kekuasaan, perlunya perubahan dan representasi dari dan
untuk kelompok sosial yang terpinggirkan, dalam kelas, gender, dan ras,
juga dalam hal umur, nasionalitas, dsb. Kajian budaya bersifat politis
karena ia adalah ranah akademis yang sekaligus merupakan sebuah gerakan
politik pemberdayaan kelompok-kelompok sosial marjinal.
Dalam hal minat kajiannya, kajian budaya memang bersifat plastis dan
sebagai implikasi dari sifat “tidak disiplinnya”, maka dalam hal teori
dan metodenya, kajian budaya memang bersifat eklektis. Beberapa metode
yang sering dipakai dalam kajian budaya adalah etnografi, pendekatan
tekstual (semiotika, teori naratif, dan dekonstruksionisme), dan
berbagai studi resepsi (Barker, 2000: 5-34).
1 Sejak kajian budaya dipopulerkan pada tahun 1960-an di Inggris, ia
telah mengalami perkembangan teori yang cepat, dan terus menerus
meluaskan ekspansinya ke berbagai tempat di seluruh dunia. Semakin
banyak universitas yang membuka program studi kajian budaya secara
formal, terdapat peningkatan yang luar biasa pada penerbitan buku-buku
dan jurnal-jurnal kajian budaya,2 juga bermunculan situs-situs tentang
kajian budaya di internet. Bagi Hall sendiri, fenomena meluasnya kajian
budaya ini adalah “cerita kesuksesan besar selama 30 tahun” (Jordan,
2000). Sekedar sebagai gambaran tentang kepopuleran kajian budaya,
sekarang ini terdapat tiga jurnal internasional utama kajian budaya
yaitu Cultural Studies (berawal sebagai Australian Journal of Cultural
Studies), European Journal of Cultural Studies, dan International
Journal of Cultural Studies.
Selain ketiga jurnal itu, terdapat lusinan jurnal kajian budaya lain
yang telah terbit tersebar di banyak negara, antara lain: Australia:
Antithesis, Arena, Continuum, Culture and Policy, Southern Review, dan
UTS Review Kanada: Borderlines, Canadian Journal of Social and
Political Theory, Cine Action, Parallelogram, Space and Culture, dan
Topia: A Canadian Journal of Cultural Studies. Jerman: Journal for the
Study of British Culture. Italia: Anglistica: Annali Instituto Orientale
Napoli. Swedia: Young. Finlandia: European Journal of Cultural
Studies. Afrika Selatan: Critical Arts: A Journal for Cultural and
Media Studies dan Pretexts: Studies in Writing and Culture.
———-
1
Lihat juga pengantar kajian budaya yang ditulis oleh Melani Budianta (1995); juga dipresentasikan di kuliah umum ini.
2 Dalam wilayah penerbitan ini, Routledge, Sage, dan Blackwell kini juga
dikenal sebagai penerbit utama buku-buku dan jurnal-jurnal kajian
budaya.
Spanyol: Culture and Power. Inggris: Angelaki, Gender, Place and
Culture, Media, Culture & Society, New Formations, Parallax,
Theory, Culture & Society, Third Text: Third World Perpectives on
Contemporary Art & Culture, Social Identities: A Journal of Race,
Nation and Culture, dan Soundings
Amerika: Boundary2, College Literature, Critical Inquiry, Critical
Studies in Mass Communication, Cultural Critique, Discourse,
Theoritical Studies in Media and Culture, Journal of American Culture,
Journal of Communication Inquiry, Journal of Popular Culture, Journal
of Urban and Kajian budaya, Public Culture, Rethinking Marxism, Social
Semiotics, Social Text, Transition, Women and Language, dan Travesia
(jurnal yang didekasikan untuk kajian budaya Amerika Latin).
Untuk kajian budaya di Asia ada jurnal Inter-Asia Cultural Studies
yang mempunyai jaringan kerja dengan 26 jurnal di Asia dan Australia.
Selain jurnal, juga terdapat beberapa konferensi internasional penting
seperti “International Crossroads in Cultural Studies Conferences” yang
diadakan setiap 2 tahun di Eropa. Konferensi yang pertama diadakan di
Tampere, Finlandia, pada 1998. Pada 2000, konferensi ini diadakan di
Birmingham, dan pada musim panas 2002 ini akan diadakan di Amsterdam.
Sebelumnya, di University of Illinois pada 1983 dan 1990, sudah diadakan
konferensi kajian budaya internasional yang pertama. Pada dekade
’90-an juga pernah berlangsung konferensi “Dismantling Fremantle” di
Australia dan konferensi “Trajectories” di Hongkong (Jordan, 2000).3
Kajian Budaya: Kasus Indonesia
Pada tahun-tahun pertama kemunculannya, jurnal Kalam (pertama terbit 1994) telah
membawa atau menunjukkan semangat kebaruan yang menyegarkan bagi
penelitian kebudayaan di Indonesia. Kalam menunjukkan bahwa kebudayaan
bisa diselidiki dengan cara yang berbeda dengan yang ditunjukkan oleh
Prisma—jurnal ilmu-ilmu sosial, ekonomi, dan politik yang sangat
berpengaruh di kalangan intelektual Indonesia pada dekade ’70-an dan
’80-an (berhenti terbit pada 1999). Ciri utama dari
penelitian-penelitian kebudayaan yang muncul di Prisma adalah
menonjolnya pendekatan kuantitatif. 4 Di sini kebudayaan dianggap
sebagai suatu gejala sosial yang bisa didefinisikan dan diukur dengan
tepat. Metode yang paling sering digunakan adalah survei dan analisis
isi. Kalam muncul ketika perdebatan tentang pascamodernisme masih
hangat. Berbeda dengan Prisma, penelitian-penelitian kebudayaan yang
dimuat di Kalam ditandai dengan kuatnya kesadaran akan pluralisme
kebudayaan dan keterkaitan kebudayaan dengan kekuasaan— suatu semangat
yang dibawa oleh kajian budaya. Beberapa jurnal lain juga penting
disebut di sini sebagai perintis penelitian kebudayaan yang berbeda
haluan dengan Prisma: Horison (terbit pertama 1966)5, Ulumul Qur’an
(sudah tidak terbit lagi), Basis, Jurnal Seni Pertunjukan, dan Jurnal
Perempuan.
Ada juga beberapa debat, diskusi, seminar, atau konferensi yang
menjadi pendorong tumbuhnya kajian budaya di Indonesia. Misalnya
perdebatan sastra kontekstual pada pertengahan ’80-an yang mulai
melihat keterkaitan selera sastra dengan kelas (Heryanto: 1985), pidato
Nirwan Dewanto pada Kongres Kebudayaan 1991 yang mengemukakan ide-
—————
3
Jordan melihat dua konferensi di Australia dan Hongkong ini sebagai reaksi atas hegemoni Anglo-
American dalam kajian budaya.
4
Misalnya tema Prisma tentang kebudayan pop pada edisi Juni, 1977 dan Mei, 1987. Editor Prisma Aswab
Mahasin bahkan menganggap kebudayaan pop tidaklah cukup serius untuk menjadi tema Prisma. Lihat juga
kritik Hikmat Budiman atas posisi Prisma ini (Budiman, 2002: 147-152).
5
Lihat uraian David T. Hill tentang Horison sebagai kepanjangan Orde Baru (Hill, 1993).
ide tentang pluralisme kebudayaan dan identitas keindonesiaan, juga
pidato Melani Budianta pada ulang tahun Fakultas Sastra Universitas
Indonesia pada 1995 yang memberikan pengantar tentang kajian budaya
untuk pembaca Indonesia. Pada Juli, 2000 The British Council juga
menyelenggarakan “Workshop on Cultural Studies” di Surabaya.
Sayang sekali, belakangan ini Kalam tampaknya semakin mempersempit
isinya hanya ke wilayah kesastraan. Dan cukup aneh, bahwa Ahmad Sahal,
salah satu editor Kalam, malah bersikap menolak kajian budaya. Dalam
Bentara—lembaran kebudayaan Kompas yang terbit sekali sebulan sejak
2000—ia mengatakan bahwa agenda politik kajian budaya bisa membawa
akibat penyingkiran estetika. Menurutnya sifat politis kajian budaya
hanyalah merupakan kelanjutan euforia sosial politik yang sedang melanda
ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan seni (Sahal, 2000).6 Sikap ini
kemudian juga diikuti oleh Agus Dermawan T. (2000) dan Jim Supangkat
(2000). Jika kecurigaan Sahal dan Agus Dermawan T. pada agenda politik
kajian budaya dijadikan pijakan untuk membela estetika idealis (Sahal)
atau estetika murni (Dermawan T.), maka Supangkat beranggapan bahwa
sifat kajian budaya yang plastis, “tidak disiplin”, dan eklektis
dianggap akan membingungkan dan menyesatkan jika dipakai sebagai metode
kritik seni.7
Usaha lain yang cukup serius dalam penelitian kebudayaan juga
dilakukan oleh Lembaga Studi Realino sejak awal ’90-an di Yogyakarta
dengan merintis penerbitan seri monografi “Siasat Kebudayaan”.
Penelitian-penelitian Realino melihat kebudayaan dari perspektif
ekonomi-politik dan tampak sekali bahwa semua topik yang dibahas
bersambungan kuat dengan masalah-masalah lokal.
8 Pada 1999, di Yogyakarta juga berdiri KUNCI Cultural Studies
Center. KUNCI menerbitkan newsletter, kertas kerja, publikasi di
internet, dan bergabung dengan jaringan kerja kajian budaya di luar
Indonesia (termasuk berafiliasi dengan Inter-Asia Cultural Studies
Center). Mungkin karena peredaran newsletter dan kertas kerjanya masih
sangat terbatas, wacana kajian budaya yang secara eksplisit
dikedepankan KUNCI baru lamat-lamat saja terdengar, dan sedikit sekali
akademisi Indonesia yang memberikan respon. Pada 2001 di Jakarta juga
berdiri Desantara, Institute for Cultural Studies.9
Kajian media (media studies), bisa dikatakan sebagai kajian yang
masuk dalam aliran utama penelitian kebudayaan di Indonesia, mengingat
begitu banyak penelitian yang telah dibuat dalam bidang ini. Lembaga
Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y), Institut
Studi Arus Informasi (ISAI) di Jakarta, dan Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan (LSPP) di Jakarta adalah contoh lembaga-lembaga yang
mengkhususkan diri untuk melakukan kajian media.
Meskipun tentu saja masih bisa diperdebatkan apakah kajian-kajian
media yang telah mereka lakukan bisa dimasukkan dalam kajian budaya atau
tidak. Dan yang secara tradisional banyak melakukan kajian media juga
adalah para mahasiswa Ilmu Komunikasi (S1 maupun S2) di
universitas-universitas di Indonesia.
6
Pendapat Sahal juga didukung oleh Moh. Faiz Ahsoul yang menganggap kajian budaya hanya sekedar
meramaikan mimbar akademik di Indonesia (2001).
7
Kami telah membuat bantahan atas tiga tulisan itu (Antariksa, 2000; Juliastuti, 2000). Lihat juga bantahan
Enin Supriyanto (2000). Belakangan Budi Darma juga berposisi menolak
kajian budaya dalam tulisannya “Ironi Si Kembar Siam: tentang Posmo dan
Kajian Budaya”—yang juga dimuat di jurnal Kalam. Menurutnya kajian
budaya pada hakekatnya telah gagal mengemban misi keilmuan, yaitu
“kemaslahatan umat manusia”
(Darma, 2001).
8
Beberapa yang bisa disebut antara lain: Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa) (1992), Pariwisata Indonesia:
Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan (1994), Perempuan dan Politik Tubuh Fantastis (1998),
Imajinasi Penguasa dan Identitas Postkolonial, Siasat Politik (Kethoprak) Massa Rakyat (2000), dan
Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global (2001).
9
Kajian budaya juga muncul dalam bentuk populer dalam beberapa media massa seperti
Kompas dan Latitudes (terbit pertama tahun 2001). Sedikit banyak
mereka ini turut memberikan sumbangan kajian budaya di Indonesia.
Kajian media memang potensial untuk menjadi pintu masuk ke kajian budaya, tetapi
hal ini tidak selalu berarti setiap bentuk kajian media bisa
dimasukkan dalam kajian budaya.10 Paradigma utama kajian media yang
banyak dilakukan mahasiswa Ilmu Komunikasi di Indonesia sampai sekitar 5
tahun lalu misalnya, adalah analisis isi media yang bersifat
kuantitatif dan selalu penuh dengan grafik dan data statistik. Banyak
juga usaha untuk melakukan “pengukuran” dampak media pada pembaca atau
pemirsa. Kajian semacam ini tentu tidak bisa dimasukkan dalam kajian
budaya. Baru pada akhir ’90-an mulai muncul pendekatan ekonomi-politik
dalam mengkaji media mulai dipakai, jenis-jenis analisis baru juga
mewarnai kajian media, seperti semiotika, analisis wacana, atau
audience research seperti yang dalam kajian budaya, misalnya, dilakukan
oleh Ien Ang (1985).
Babak paling baru dari perkembangan kajian budaya di Indonesia saat
ini adalah institusionalisasi kajian budaya pada lembaga pendidikan
formal. Di Universitas Indonesia, sejak tahun 1998 mulai ada kelas
Kajian Budaya Inggris, yang merupakan bagian integral dari mata kuliah
pengkhususan yang harus diambil peserta S2 bidang Ilmu Susastra dengan
pengutamaan Sastra Inggris. Pada tahun yang sama, di Universitas
Indonesia (UI) juga terdapat kelas Pengantar Kajian Budaya yang harus
diambil oleh mahasiswa S1 Sastra Inggris tahun terakhir.11 Di
Universitas Petra, Surabaya, Jurusan Sastra Inggrisnya juga berencana
menawarkan beberapa mata kuliah bebas di bidang kajian budaya ini.
Mereka berencana menjadikan kajian budaya sebagai pengutamaan (major),
bersama-sama dengan pengutamaan yang telah ada, yakni kesusastraan dan
linguistik. Tampaknya apa yang terjadi di UI dan Universitas Petra,
menunjukkan kesamaan dengan perkembangan kajian budaya di Inggris. Di
Inggris kelahiran kajian budaya mempunyai pertalian erat dengan Sastra
Inggris (Harris, 1992; Inglis, 1993).12 Tahun 2000 Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta membuka Program Pascasarjana Religi dan Budaya, yang
mandiri—terpisah dari program studi lain. Pada tahun yang sama
Universitas Udayana Bali juga membuka Program Pascasarjana Kajian
Budaya. Kajian budaya yang dikembangkan di Universitas Udayana lebih
dekat dengan antropologi dan kajian turisme (tourism studies).13
Penutup
Sifat kajian budaya selalu berkutat dengan masalah-masalah kekuasaan, kebutuhan
akan perubahan dan representasi bagi kelompok-kelompok sosial
marjinal. Dengan begitu kajian budaya merupakan sebentuk teori yang
diproduksi oleh para pemikir yang menyadari bahwa pengetahuan teoritis
adalah sebuah praktik politik. Dalam kajian budaya, produksi
pengetahuan teoritis dipahami sebagai sebuah praktik politik, dengan
dasar pemikiran bahwa pengetahuan tidak pernah objektif dan netral
tetapi selalu terkait dengan masalah posisionalitas—tempat seseorang
berbicara, kepada siapa, dan dengan tujuan apa.
Karena itu kajian budaya bersifat lokal, bukan universal.
Agenda-agenda politik kajian budaya sangat beragam, sesuai dengan
permasalahan di masing-masing negara (Barker,
10
Memang ada kekhawatiran di kalangan akademisi bahwa membanjirnya jumlah
penelitian media dan kebudayaan pop akan membuat kajian budaya menjadi
dangkal (Morris, 1996).
11
Manneke Budiman, Melani Budianta, dan Junaidi adalah pengajar-pengajar di kelas-kelas tersebut. Pada
1995, Melani Budianta dan Ariel Heryanto juga pernah menjadi dosen tamu untuk Kajian Budaya di UI
(komunikasi pribadi dengan Manneke Budiman dan Melani Budianta).
12
Meskipun ada juga yang pesimis dengan fenomena ini seperti Harold Bloom
yang mengatakan, “I do not believe that literary studies as such have a
future.… What are now called ‘Departments of English ’ will be renamed
departments of ‘Cultural Studies’ where Batman comics, Mormon theme
parks, television, movies and rock will replace Chaucer, Shakespeare,
Milton, Wordsworth, and Wallace Stevens” (Bloom 1994: 519).
13
Pada 2001, Fakultas Sastra UGM berganti nama menjadi Fakultas Ilmu
Budaya. Tetapi tentu saja kita masih harus menunggu apakah pergantian
nama tersebut juga akan membawa perubahan berarti dalam kurikulum dan
penelitian kebudayaan yang dilakukan atau ini hanya sekedar ganti nama
saja.
2000). Kajian budaya di Perancis misalnya, peduli dengan
persoalan-persoalan percampuran etnis Perancis; kajian budaya Australia
peduli pada karakter nasional Australia yang direpresentasikan dalam
media massa;14 kajian budaya India sangat tertarik pada penemuan
kembali budaya dari mereka yang terpinggirkan secara politik oleh negara
dan oleh ideologi hegemonik; misi jaringan kerja Inter-Asia Cultural
Studies adalah menginterpretasikan kembali budaya Asia dan identitas
keasiaan di tengah arus globalisasi.
Ketika KUNCI Cultural Studies Center didirikan pada 1999, misinya
adalah untuk mempopulerkan dan menawarkan pendekatan kajian budaya
sebagai bidang interdisipliner dalam studi sosial dan kebudayaan di
Indonesia. Minat kajiannya adalah bidang-bidang yang selama ini
terpinggirkan dalam penelitian kebudayaan di Indonesia, misalnya: budaya
remaja, budaya pop, dan homoseksualitas. Bidang-bidang ini bukan hanya
didekati lewat penelitian-penilitian, melainkan KUNCI juga melibatkan
diri dalam berbagai gerakan di “tingkat bawah” sebagai bentuk sikap
kritis terhadap ideologi hegemonik (negara, media massa dsb.) dan
keberpihakan kepada kelompok-kelompok sosial yang marjinal.15
Tentu saja masih banyak varian kajian budaya lain yang bisa
dikembangkan di Indonesia. Yang juga mendesak untuk dikerjakan adalah
membangun jaringan kerjasama di antara berbagai kelompok yang juga
menaruh perhatian pada kajian budaya, baik yang bergerak di dalam
maupun di luar universitas. Kerjasama seperti yang sudah dilakukan
antara UI dan Universitas Petra misalnya, bisa dikembangkan dalam bentuk
yang lebih luas dengan kelompok-kelompok lainnya (mengapa tidak ada
kerjasama dengan Universitas Sanata Dharma atau Universitas Udayana?).
Dengan begitu orientasi kajian budaya yang mendesak dan bisa
dikembangkan di Indonesia bisa dikerjakan bersama-sama.
Nuraini Juliastuti dan Antariksa, Editor pada KUNCI Cultural Studies Center.
14
Perdebatan tentang kajian budaya di beberapa negara seperti di Inggris
atau Amerika misalnya, malah sudah sampai pada persoalan apakah studi
tentang kajian budaya masih perlu dilakukan. Menurut Ziauddin Sardar
bahwa sebagai sebuah disiplin, kajian budaya tidak punya hak untuk
eksis. Ia harus dihilangkan dari silabus-silabus universitas. Sudah ada
cukup banyak disiplin yang akan melakukan klaim-klaim kajian
budaya—sosiologi, antropologi, psikologi, dsb. (Sardar, 1997). Atau juga
pertanyaan yang dilontarkan oleh Angela McRobbie bahwa booming kajian
budaya ini jangan-jangan hanya berperan kongkret menghasilkan
lulusan-lulusan yang punya prospek lapangan pekerjaan bagus di media
atau perusahaan-perusahaan yang dulu produknya biasa menjadi objek
kajian budaya. Ia mengatakan, “Of the many sins committed by the
disciplines of media studies and cultural studies, one of the most
serious, according to their critics, is that they produce unemployable
graduates. Yet hardly a week goes past without my receiving a letter
that runs something like this: ‘Dear Angela, I thought you’d like to
know that I am now working on the advice column of Just Seventeen. The
final-year research project I did on girls’ magazines and their readers
turned out to be
very useful…’” (McRobbie, 1997).
15
Sebagai contoh, Newsletter KUNCI ditujukan untuk “orang kebanyakan”. Salah satu tujuannya adalah
untuk membuat teori menjadi lebih bisa diakses oleh banyak orang.
Setiap tahun KUNCI juga membuat kampanye untuk bersikap kritis terhadap
budaya konsumen, “Buy Nothing Day” dan “Turn Off TV Week”. Atau, yang
sedang dikerjakan, membuat sebuah program radio untuk remaja “Cargo
Culture” yang bertujuan agar mereka bisa bersikap kritis terhadap
lingkungannya.
No comments:
Post a Comment