Tuesday, November 8, 2011

Sejarah Cultural Studies di Indonesia

Posted by Teguh Iman Prasetya pada Rabu, November 26, 2008 Kajian Budaya di Indonesia
Nuraini Juliastuti dan Antariksa
Seperti diingatkan oleh Stuart Hall, kajian budaya selalu berbicara tentang artikulasi antara budaya dan kekuasaan (Morley and Chen, 1996: 395). Apa yang dipertaruhkan dalam kajian budaya adalah hubungan antara politik dan kekuasaan, perlunya perubahan dan representasi dari dan untuk kelompok sosial yang terpinggirkan, dalam kelas, gender, dan ras, juga dalam hal umur, nasionalitas, dsb. Kajian budaya bersifat politis karena ia adalah ranah akademis yang sekaligus merupakan sebuah gerakan politik pemberdayaan kelompok-kelompok sosial marjinal.
Dalam hal minat kajiannya, kajian budaya memang bersifat plastis dan sebagai implikasi dari sifat “tidak disiplinnya”, maka dalam hal teori dan metodenya, kajian budaya memang bersifat eklektis. Beberapa metode yang sering dipakai dalam kajian budaya adalah etnografi, pendekatan tekstual (semiotika, teori naratif, dan dekonstruksionisme), dan berbagai studi resepsi (Barker, 2000: 5-34).
1 Sejak kajian budaya dipopulerkan pada tahun 1960-an di Inggris, ia telah mengalami perkembangan teori yang cepat, dan terus menerus meluaskan ekspansinya ke berbagai tempat di seluruh dunia. Semakin banyak universitas yang membuka program studi kajian budaya secara formal, terdapat peningkatan yang luar biasa pada penerbitan buku-buku dan jurnal-jurnal kajian budaya,2 juga bermunculan situs-situs tentang kajian budaya di internet. Bagi Hall sendiri, fenomena meluasnya kajian budaya ini adalah “cerita kesuksesan besar selama 30 tahun” (Jordan, 2000). Sekedar sebagai gambaran tentang kepopuleran kajian budaya, sekarang ini terdapat tiga jurnal internasional utama kajian budaya yaitu Cultural Studies (berawal sebagai Australian Journal of Cultural Studies), European Journal of Cultural Studies, dan International Journal of Cultural Studies.
Selain ketiga jurnal itu, terdapat lusinan jurnal kajian budaya lain yang telah terbit tersebar di banyak negara, antara lain: Australia: Antithesis, Arena, Continuum, Culture and Policy, Southern Review, dan UTS Review Kanada: Borderlines, Canadian Journal of Social and Political Theory, Cine Action, Parallelogram, Space and Culture, dan Topia: A Canadian Journal of Cultural Studies. Jerman: Journal for the Study of British Culture. Italia: Anglistica: Annali Instituto Orientale Napoli. Swedia: Young. Finlandia: European Journal of Cultural Studies. Afrika Selatan: Critical Arts: A Journal for Cultural and Media Studies dan Pretexts: Studies in Writing and Culture.
———-
1
Lihat juga pengantar kajian budaya yang ditulis oleh Melani Budianta (1995); juga dipresentasikan di kuliah umum ini.
2 Dalam wilayah penerbitan ini, Routledge, Sage, dan Blackwell kini juga dikenal sebagai penerbit utama buku-buku dan jurnal-jurnal kajian budaya.
Spanyol: Culture and Power. Inggris: Angelaki, Gender, Place and Culture, Media, Culture & Society, New Formations, Parallax, Theory, Culture & Society, Third Text: Third World Perpectives on Contemporary Art & Culture, Social Identities: A Journal of Race, Nation and Culture, dan Soundings
Amerika: Boundary2, College Literature, Critical Inquiry, Critical Studies in Mass Communication, Cultural Critique, Discourse, Theoritical Studies in Media and Culture, Journal of American Culture, Journal of Communication Inquiry, Journal of Popular Culture, Journal of Urban and Kajian budaya, Public Culture, Rethinking Marxism, Social Semiotics, Social Text, Transition, Women and Language, dan Travesia (jurnal yang didekasikan untuk kajian budaya Amerika Latin).
Untuk kajian budaya di Asia ada jurnal Inter-Asia Cultural Studies yang mempunyai jaringan kerja dengan 26 jurnal di Asia dan Australia. Selain jurnal, juga terdapat beberapa konferensi internasional penting seperti “International Crossroads in Cultural Studies Conferences” yang diadakan setiap 2 tahun di Eropa. Konferensi yang pertama diadakan di Tampere, Finlandia, pada 1998. Pada 2000, konferensi ini diadakan di Birmingham, dan pada musim panas 2002 ini akan diadakan di Amsterdam. Sebelumnya, di University of Illinois pada 1983 dan 1990, sudah diadakan konferensi kajian budaya internasional yang pertama. Pada dekade ’90-an juga pernah berlangsung konferensi “Dismantling Fremantle” di Australia dan konferensi “Trajectories” di Hongkong (Jordan, 2000).3
Kajian Budaya: Kasus Indonesia
Pada tahun-tahun pertama kemunculannya, jurnal Kalam (pertama terbit 1994) telah
membawa atau menunjukkan semangat kebaruan yang menyegarkan bagi penelitian kebudayaan di Indonesia. Kalam menunjukkan bahwa kebudayaan bisa diselidiki dengan cara yang berbeda dengan yang ditunjukkan oleh Prisma—jurnal ilmu-ilmu sosial, ekonomi, dan politik yang sangat berpengaruh di kalangan intelektual Indonesia pada dekade ’70-an dan ’80-an (berhenti terbit pada 1999). Ciri utama dari penelitian-penelitian kebudayaan yang muncul di Prisma adalah menonjolnya pendekatan kuantitatif. 4 Di sini kebudayaan dianggap sebagai suatu gejala sosial yang bisa didefinisikan dan diukur dengan tepat. Metode yang paling sering digunakan adalah survei dan analisis isi. Kalam muncul ketika perdebatan tentang pascamodernisme masih hangat. Berbeda dengan Prisma, penelitian-penelitian kebudayaan yang dimuat di Kalam ditandai dengan kuatnya kesadaran akan pluralisme kebudayaan dan keterkaitan kebudayaan dengan kekuasaan— suatu semangat yang dibawa oleh kajian budaya. Beberapa jurnal lain juga penting disebut di sini sebagai perintis penelitian kebudayaan yang berbeda haluan dengan Prisma: Horison (terbit pertama 1966)5, Ulumul Qur’an (sudah tidak terbit lagi), Basis, Jurnal Seni Pertunjukan, dan Jurnal Perempuan.
Ada juga beberapa debat, diskusi, seminar, atau konferensi yang menjadi pendorong tumbuhnya kajian budaya di Indonesia. Misalnya perdebatan sastra kontekstual pada pertengahan ’80-an yang mulai melihat keterkaitan selera sastra dengan kelas (Heryanto: 1985), pidato Nirwan Dewanto pada Kongres Kebudayaan 1991 yang mengemukakan ide-
—————
3
Jordan melihat dua konferensi di Australia dan Hongkong ini sebagai reaksi atas hegemoni Anglo-
American dalam kajian budaya.
4
Misalnya tema Prisma tentang kebudayan pop pada edisi Juni, 1977 dan Mei, 1987. Editor Prisma Aswab
Mahasin bahkan menganggap kebudayaan pop tidaklah cukup serius untuk menjadi tema Prisma. Lihat juga
kritik Hikmat Budiman atas posisi Prisma ini (Budiman, 2002: 147-152).
5
Lihat uraian David T. Hill tentang Horison sebagai kepanjangan Orde Baru (Hill, 1993).
ide tentang pluralisme kebudayaan dan identitas keindonesiaan, juga pidato Melani Budianta pada ulang tahun Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1995 yang memberikan pengantar tentang kajian budaya untuk pembaca Indonesia. Pada Juli, 2000 The British Council juga menyelenggarakan “Workshop on Cultural Studies” di Surabaya.
Sayang sekali, belakangan ini Kalam tampaknya semakin mempersempit isinya hanya ke wilayah kesastraan. Dan cukup aneh, bahwa Ahmad Sahal, salah satu editor Kalam, malah bersikap menolak kajian budaya. Dalam Bentara—lembaran kebudayaan Kompas yang terbit sekali sebulan sejak 2000—ia mengatakan bahwa agenda politik kajian budaya bisa membawa akibat penyingkiran estetika. Menurutnya sifat politis kajian budaya hanyalah merupakan kelanjutan euforia sosial politik yang sedang melanda ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan seni (Sahal, 2000).6 Sikap ini kemudian juga diikuti oleh Agus Dermawan T. (2000) dan Jim Supangkat (2000). Jika kecurigaan Sahal dan Agus Dermawan T. pada agenda politik kajian budaya dijadikan pijakan untuk membela estetika idealis (Sahal) atau estetika murni (Dermawan T.), maka Supangkat beranggapan bahwa sifat kajian budaya yang plastis, “tidak disiplin”, dan eklektis dianggap akan membingungkan dan menyesatkan jika dipakai sebagai metode kritik seni.7
Usaha lain yang cukup serius dalam penelitian kebudayaan juga dilakukan oleh Lembaga Studi Realino sejak awal ’90-an di Yogyakarta dengan merintis penerbitan seri monografi “Siasat Kebudayaan”. Penelitian-penelitian Realino melihat kebudayaan dari perspektif ekonomi-politik dan tampak sekali bahwa semua topik yang dibahas bersambungan kuat dengan masalah-masalah lokal.
8 Pada 1999, di Yogyakarta juga berdiri KUNCI Cultural Studies Center. KUNCI menerbitkan newsletter, kertas kerja, publikasi di internet, dan bergabung dengan jaringan kerja kajian budaya di luar Indonesia (termasuk berafiliasi dengan Inter-Asia Cultural Studies Center). Mungkin karena peredaran newsletter dan kertas kerjanya masih sangat terbatas, wacana kajian budaya yang secara eksplisit dikedepankan KUNCI baru lamat-lamat saja terdengar, dan sedikit sekali akademisi Indonesia yang memberikan respon. Pada 2001 di Jakarta juga berdiri Desantara, Institute for Cultural Studies.9
Kajian media (media studies), bisa dikatakan sebagai kajian yang masuk dalam aliran utama penelitian kebudayaan di Indonesia, mengingat begitu banyak penelitian yang telah dibuat dalam bidang ini. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y), Institut Studi Arus Informasi (ISAI) di Jakarta, dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) di Jakarta adalah contoh lembaga-lembaga yang mengkhususkan diri untuk melakukan kajian media.
Meskipun tentu saja masih bisa diperdebatkan apakah kajian-kajian media yang telah mereka lakukan bisa dimasukkan dalam kajian budaya atau tidak. Dan yang secara tradisional banyak melakukan kajian media juga adalah para mahasiswa Ilmu Komunikasi (S1 maupun S2) di universitas-universitas di Indonesia.
6
Pendapat Sahal juga didukung oleh Moh. Faiz Ahsoul yang menganggap kajian budaya hanya sekedar
meramaikan mimbar akademik di Indonesia (2001).
7
Kami telah membuat bantahan atas tiga tulisan itu (Antariksa, 2000; Juliastuti, 2000). Lihat juga bantahan
Enin Supriyanto (2000). Belakangan Budi Darma juga berposisi menolak kajian budaya dalam tulisannya “Ironi Si Kembar Siam: tentang Posmo dan Kajian Budaya”—yang juga dimuat di jurnal Kalam. Menurutnya kajian budaya pada hakekatnya telah gagal mengemban misi keilmuan, yaitu “kemaslahatan umat manusia”
(Darma, 2001).
8
Beberapa yang bisa disebut antara lain: Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa) (1992), Pariwisata Indonesia:
Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan (1994), Perempuan dan Politik Tubuh Fantastis (1998),
Imajinasi Penguasa dan Identitas Postkolonial, Siasat Politik (Kethoprak) Massa Rakyat (2000), dan
Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global (2001).
9
Kajian budaya juga muncul dalam bentuk populer dalam beberapa media massa seperti
Kompas dan Latitudes (terbit pertama tahun 2001). Sedikit banyak mereka ini turut memberikan sumbangan kajian budaya di Indonesia.
Kajian media memang potensial untuk menjadi pintu masuk ke kajian budaya, tetapi
hal ini tidak selalu berarti setiap bentuk kajian media bisa dimasukkan dalam kajian budaya.10 Paradigma utama kajian media yang banyak dilakukan mahasiswa Ilmu Komunikasi di Indonesia sampai sekitar 5 tahun lalu misalnya, adalah analisis isi media yang bersifat kuantitatif dan selalu penuh dengan grafik dan data statistik. Banyak juga usaha untuk melakukan “pengukuran” dampak media pada pembaca atau pemirsa. Kajian semacam ini tentu tidak bisa dimasukkan dalam kajian budaya. Baru pada akhir ’90-an mulai muncul pendekatan ekonomi-politik dalam mengkaji media mulai dipakai, jenis-jenis analisis baru juga mewarnai kajian media, seperti semiotika, analisis wacana, atau audience research seperti yang dalam kajian budaya, misalnya, dilakukan oleh Ien Ang (1985).
Babak paling baru dari perkembangan kajian budaya di Indonesia saat ini adalah institusionalisasi kajian budaya pada lembaga pendidikan formal. Di Universitas Indonesia, sejak tahun 1998 mulai ada kelas Kajian Budaya Inggris, yang merupakan bagian integral dari mata kuliah pengkhususan yang harus diambil peserta S2 bidang Ilmu Susastra dengan pengutamaan Sastra Inggris. Pada tahun yang sama, di Universitas Indonesia (UI) juga terdapat kelas Pengantar Kajian Budaya yang harus diambil oleh mahasiswa S1 Sastra Inggris tahun terakhir.11 Di Universitas Petra, Surabaya, Jurusan Sastra Inggrisnya juga berencana menawarkan beberapa mata kuliah bebas di bidang kajian budaya ini. Mereka berencana menjadikan kajian budaya sebagai pengutamaan (major), bersama-sama dengan pengutamaan yang telah ada, yakni kesusastraan dan linguistik. Tampaknya apa yang terjadi di UI dan Universitas Petra, menunjukkan kesamaan dengan perkembangan kajian budaya di Inggris. Di Inggris kelahiran kajian budaya mempunyai pertalian erat dengan Sastra Inggris (Harris, 1992; Inglis, 1993).12 Tahun 2000 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta membuka Program Pascasarjana Religi dan Budaya, yang mandiri—terpisah dari program studi lain. Pada tahun yang sama Universitas Udayana Bali juga membuka Program Pascasarjana Kajian Budaya. Kajian budaya yang dikembangkan di Universitas Udayana lebih dekat dengan antropologi dan kajian turisme (tourism studies).13
Penutup
Sifat kajian budaya selalu berkutat dengan masalah-masalah kekuasaan, kebutuhan
akan perubahan dan representasi bagi kelompok-kelompok sosial marjinal. Dengan begitu kajian budaya merupakan sebentuk teori yang diproduksi oleh para pemikir yang menyadari bahwa pengetahuan teoritis adalah sebuah praktik politik. Dalam kajian budaya, produksi pengetahuan teoritis dipahami sebagai sebuah praktik politik, dengan dasar pemikiran bahwa pengetahuan tidak pernah objektif dan netral tetapi selalu terkait dengan masalah posisionalitas—tempat seseorang berbicara, kepada siapa, dan dengan tujuan apa.
Karena itu kajian budaya bersifat lokal, bukan universal. Agenda-agenda politik kajian budaya sangat beragam, sesuai dengan permasalahan di masing-masing negara (Barker,
10
Memang ada kekhawatiran di kalangan akademisi bahwa membanjirnya jumlah penelitian media dan kebudayaan pop akan membuat kajian budaya menjadi dangkal (Morris, 1996).
11
Manneke Budiman, Melani Budianta, dan Junaidi adalah pengajar-pengajar di kelas-kelas tersebut. Pada
1995, Melani Budianta dan Ariel Heryanto juga pernah menjadi dosen tamu untuk Kajian Budaya di UI
(komunikasi pribadi dengan Manneke Budiman dan Melani Budianta).
12
Meskipun ada juga yang pesimis dengan fenomena ini seperti Harold Bloom yang mengatakan, “I do not believe that literary studies as such have a future.… What are now called ‘Departments of English ’ will be renamed departments of ‘Cultural Studies’ where Batman comics, Mormon theme parks, television, movies and rock will replace Chaucer, Shakespeare, Milton, Wordsworth, and Wallace Stevens” (Bloom 1994: 519).
13
Pada 2001, Fakultas Sastra UGM berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya. Tetapi tentu saja kita masih harus menunggu apakah pergantian nama tersebut juga akan membawa perubahan berarti dalam kurikulum dan penelitian kebudayaan yang dilakukan atau ini hanya sekedar ganti nama saja.
2000). Kajian budaya di Perancis misalnya, peduli dengan persoalan-persoalan percampuran etnis Perancis; kajian budaya Australia peduli pada karakter nasional Australia yang direpresentasikan dalam media massa;14 kajian budaya India sangat tertarik pada penemuan kembali budaya dari mereka yang terpinggirkan secara politik oleh negara dan oleh ideologi hegemonik; misi jaringan kerja Inter-Asia Cultural Studies adalah menginterpretasikan kembali budaya Asia dan identitas keasiaan di tengah arus globalisasi.
Ketika KUNCI Cultural Studies Center didirikan pada 1999, misinya adalah untuk mempopulerkan dan menawarkan pendekatan kajian budaya sebagai bidang interdisipliner dalam studi sosial dan kebudayaan di Indonesia. Minat kajiannya adalah bidang-bidang yang selama ini terpinggirkan dalam penelitian kebudayaan di Indonesia, misalnya: budaya remaja, budaya pop, dan homoseksualitas. Bidang-bidang ini bukan hanya didekati lewat penelitian-penilitian, melainkan KUNCI juga melibatkan diri dalam berbagai gerakan di “tingkat bawah” sebagai bentuk sikap kritis terhadap ideologi hegemonik (negara, media massa dsb.) dan keberpihakan kepada kelompok-kelompok sosial yang marjinal.15
Tentu saja masih banyak varian kajian budaya lain yang bisa dikembangkan di Indonesia. Yang juga mendesak untuk dikerjakan adalah membangun jaringan kerjasama di antara berbagai kelompok yang juga menaruh perhatian pada kajian budaya, baik yang bergerak di dalam maupun di luar universitas. Kerjasama seperti yang sudah dilakukan antara UI dan Universitas Petra misalnya, bisa dikembangkan dalam bentuk yang lebih luas dengan kelompok-kelompok lainnya (mengapa tidak ada kerjasama dengan Universitas Sanata Dharma atau Universitas Udayana?). Dengan begitu orientasi kajian budaya yang mendesak dan bisa dikembangkan di Indonesia bisa dikerjakan bersama-sama.
Nuraini Juliastuti dan Antariksa, Editor pada KUNCI Cultural Studies Center.
14
Perdebatan tentang kajian budaya di beberapa negara seperti di Inggris atau Amerika misalnya, malah sudah sampai pada persoalan apakah studi tentang kajian budaya masih perlu dilakukan. Menurut Ziauddin Sardar bahwa sebagai sebuah disiplin, kajian budaya tidak punya hak untuk eksis. Ia harus dihilangkan dari silabus-silabus universitas. Sudah ada cukup banyak disiplin yang akan melakukan klaim-klaim kajian budaya—sosiologi, antropologi, psikologi, dsb. (Sardar, 1997). Atau juga pertanyaan yang dilontarkan oleh Angela McRobbie bahwa booming kajian budaya ini jangan-jangan hanya berperan kongkret menghasilkan lulusan-lulusan yang punya prospek lapangan pekerjaan bagus di media atau perusahaan-perusahaan yang dulu produknya biasa menjadi objek kajian budaya. Ia mengatakan, “Of the many sins committed by the disciplines of media studies and cultural studies, one of the most serious, according to their critics, is that they produce unemployable graduates. Yet hardly a week goes past without my receiving a letter that runs something like this: ‘Dear Angela, I thought you’d like to know that I am now working on the advice column of Just Seventeen. The final-year research project I did on girls’ magazines and their readers turned out to be
very useful…’” (McRobbie, 1997).
15
Sebagai contoh, Newsletter KUNCI ditujukan untuk “orang kebanyakan”. Salah satu tujuannya adalah
untuk membuat teori menjadi lebih bisa diakses oleh banyak orang. Setiap tahun KUNCI juga membuat kampanye untuk bersikap kritis terhadap budaya konsumen, “Buy Nothing Day” dan “Turn Off TV Week”. Atau, yang sedang dikerjakan, membuat sebuah program radio untuk remaja “Cargo Culture” yang bertujuan agar mereka bisa bersikap kritis terhadap lingkungannya.

No comments:

Post a Comment