Friday, June 24, 2011

Triple Bottom Line

Nggak tahu kenapa, beberapa tahun terakhir arus besar kesadaran perusahaan untuk semakin “spiritual”—dengan peduli kepada masyarakat tertindas, peduli ke lingkungan, atau peka terhadap persoalan sosial-kemasyarakatan—kian besar. GE getol melipatgandakan penggunaan clean technology; Toyota fokus mengembangkan Prius sebagai the world’s cleanest car untuk mengurangi global warming; Grameen Bank mengembangkan micro finance untuk kaum papa hingga berbuah Hadiah Nobel; Hindustan Lever, anak perusahaan Unilever di India, mengembangkan segmen pasar orang miskin (bottom of the pyramid market) sekaligus memberdayakannya.
Mungkin karena bumi kita sudah terlanjur kerempeng dan bopeng-bopeng. Atau karena kalangan bisnis sudah terlalu lama mengesampingkan kaum papa. Atau bisa jadi karena kaum pebisnis ini sudah bertobat karena keterlaluan mengeksploitasi isi perut bumi atas nama kapitalisme membabi-buta. Dupont misalnya, kini mulai “bertobat” karena sudah puluhan tahun mengotori bumi dengan bahan-bahan kimia ciptaannya. Sejak tahun 1991, Dupont sangat serius mengurangi emisi gas buang sebesar 55% dan menghemat hingga 2 miliar dolar.
Karena kenyataan itu, bukan kebetulan kalau kini mulai banyak perusahaan yang mengadopsi konsep “triple bottom line”. Apa itu? Konsep pengukuran kinerja perusahaan secara “holistik” dengan memasukan tak hanya ukuran kinerja ekonomis berupa perolehan profit, tapi juga ukuran kepedulian sosial dan pelestarian lingkungan. Kenapa “triple”? Karena konsep ini memasukkan tiga ukuran kinerja sekaligus: economic, environmental, social (EES) atau istilah keren-nya 3P: “People-Planet-Profit”. Maunya jelas, perusahaan tak hanya menjadi “economic animal”, tapi juga entitas yang “socially and environmetally responsible.”
Ide di balik TBL ini tak lain adalah adanya pergeseran paradigma pengelolaan bisnis dari “sharholders-focused” ke “stakeholders-focused”. Dari fokus kepada perolehan laba secara membabi-buta menjadi perhatian pada kepentingan pihak-pihak yang terkait (stakeholder interest) baik langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan. Konsekuensinya, peran dunia bisnis semakin siknifikan sebagai alat pemberdaya masyarakat dan pelestari lingkungan. “The business entity should be used as a vehicle for coordinating stakeholder interests, instead of maximising shareholder profit.”
Ide triple bottom line sekaligus mencoba menempatkan upaya pemberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan pada titik sentral dari keseluruhan strategi perusahaan—bukan periferal, bukan tempelan, bukan kosmetik. Conventional wisdom yang selama ini ada mengatakan: tumpuk profit sebanyak-banyaknya, lalu dari profit yang menggunung itu sisihkan sedikit saja untuk kegiatan sosial dan pelestarian lingkungan. Dengan triple bottom line, maka pendekatannya menjadi berbeda. Dari awal perusahaan sudah menetapkan bahwa tiga tujuan holistik—economic, environmental, social—tersebut hendak dicapai secara seimbang, serasi, tanpa sedikitpun pilih kasih.
Bicara triple bottom line, kita harus banyak belajar dari The Body Shop (TBS). Setiap tahun The Body Shop mengeluarkan dokumen yang dinamai The Body Shop Values Report. Dokumen ini berisi laporan “pertanggung-jawaban” kepada publik mengenai pencapaian-pencapaian social dan environmental. Menariknya, TBS bikin laporan ini tidak main-main untuk mewujudkan misinya untuk menjadi socially and environmentally responsible company. Salut patut kita berikan kepada sang pionir dan inspirator, Anita Roddick, yang beberapa minggu lalu lebih dulu meninggalkan kita.
Saya kebetulan punya satu dokumen The Body Shop Values Report 2005. (kalau pembaca berminat bisa saya kirimkan softcopy-nya dengan menghubungi saya di siwo@rocketmail.com). Menariknya, dalam report 87 halaman tersebut TBS sangat serius mengumumkan KPI (key performance indicators), target dan capaian untuk social-environmetal initiatives seserius report untuk pencapaian sales/profit.
Kita tahu TBS punya lima inisiatif: Against Animal Testing; “Support Community Trade”, “Activate Self Esteem”; “Defend Human Rights”; “Protect Our Planet”. Memang TBS ngomong di mana-mana mengenai inisiatif tersebut, tapi itu bukan sekedar isapan jempol belaka. Ia lakukan betul inisiatif tersebut, ia tetapkan KPI-nya, ia tetapkan target tahunan, kemudian di-tracking terus pencapaian target tersebut.
Dalam Values Report 2005 yang saya punya misalnya, dicantumkan salah satu target untuk inisiatif “Protect Our Planet” untuk tahun 2006 adalah, mengurangi hingga 5% emisi CO2 dari listrik yang digunakan di toko-toko TBS. Kemudian untuk “Activate Self Esteem”, di tahun 2005 TBS mampu melakukan kampanye program “Stop Violence in the Home” di 25 negara. Sementara untuk tahun 2006 ia menetapkan target melakukan kampanye di 30 negara. Harap Anda tahu target-target itu tak hanya sekedar target, tapi target yang terus di-tracking dan ngotot dicapai, sengotot mencapai target profit.
Kalau di seluruh belahan dunia, global champions seperti GE, Toyota, The Body Shop, Dupont berlomba-lomba mulai mengadopsi konsep triple bottom line, lalu bagaimana dengan di negeri kita tercinta? Nah, ini yang membuat kita semua sedih. Kita sedih ketika melihat para pebisnis kita seperti kebakaran jenggot, keberatan, dan marah begitu pasal 74 UU Perseroan Terbatas yang mengatur prinsip tanggung jawab sosial korporasi atau corporate social responsbility (CSR) diberlakukan. Menyikapi kemarahan itu saya hanya bisa berdoa, mudah-mudahan keberatan itu bukan datang dari lubuk hati yang paling dalam. *

No comments:

Post a Comment